Author: wistori

  • Pulau Flores, Permata Tersembunyi di NTT

    KALAU ada satu tempat di Indonesia yang membuat saya sangat ingin mengunjunginya saat ini, maka itu adalah Pulau Flores. Penyebabnya obrolan singkat dengan Mas Sutiknyo, traveler melankolis namun humoris yang lebih dikenal sebagai Tekno Bolang. Cerita Mas Bolang membuat saya begitu terpesona pada Flores, pulau yang disebutnya bakal membuat kita tak ingin mengembara ke tempat lain lagi.

    Saya bertemu Mas Bolang di Palembang, dalam rangkaian acara International Musi Triboatton 2016 pada 14-16 Mei lalu. Di hari terakhir pertemuan kami, sembari sarapan di hotel saya berkesempatan mendengar Mas Bolang menceritakan pengembaraannya ke berbagai tempat di Indonesia. Satu destinasi yang membuatnya paling terkesan adalah Flores, tempat yang ia sebut sebagai rumah.

    Mas Bolang bercerita, Flores adalah tempat di mana kita bisa sepuasnya menikmati keindahan alam. Dari ujung ke ujungnya bertabur pesona keindahan yang memanjakan mata dan sanubari setiap pengunjung. Demi memuaskan hasrat menikmati setiap sudut Flores, petualang kelahiran Pati ini membawa sepeda motor matic dari kediamannya di Tangerang.

    Tentu saja perjalanan tersebut ia abadikan dalam bentuk entah berapa ratus foto dan puluhan video. Saya tanya apakah ia punya channel di YouTube – saya sangat penasaran sekali dengan keindahan Flores yang ia ceritakan. “Cari saja Tekno Bolang,” jawabnya saat itu.

    Sepulang dari Palembang saya langsung membuka channel tersebut di YouTube (catatan: nama channel-nya sudah diubah jadi Lostpacker, seusai dengan nama blog dan akun media sosialnya). Tentu saja yang saya cari video-video petualangannya di Flores. Dan saya dibuat terpesona bukan main oleh keindahan alam, juga kearifan budaya lokal yang masih terjaga.

    “Saya harus datang ke Flores!” tekat saya dalam hati usai menyaksikan video-video Mas Bolang. Ya, sekalipun hanya sekali seumur hidup saya harus menginjakkan kaki ke Flores.

    Tanjung Bunga

    Nama Flores sudah saya kenal sejak Sekolah Dasar. Tepatnya setelah mengenal peta, di mana saya begitu lahap mencari informasi mengenai tempat-tempat yang saya lihat dalam atlas. Ketertarikan pada Flores pertama kali timbul ketika Bank Indonesia menerbitkan uang pecahan Rp5.000 bergambar Danau Kelimutu pada tahun 1992.

    Saya terpukau oleh cerita Ibu mengenai Danau Kelimutu, danau yang terbentuk dari kawah Gunung Kelimutu. Danau yang menurut cerita Ibu dapat berubah-ubah warna. Terdiri dari tiga kawah yang masing-masingnya menyajikan warna berbeda, karenanya danau ini juga sering disebut sebagai Danau Tiga Warna atau Danau Triwarna.

    Sebelum itu saya sudah dibuat tertarik oleh komodo yang terdapat pada koin Rp50. Kadal raksasa yang kata guru saya cuma ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Komodo yang terletak di sebelah barat Pulau Flores. Hewan purba yang konon sudah mendiami Planet Bumi sejak 4 juta tahun lalu.

    Tentu bukan tanpa alasan Portugis yang mendarat di nusa ini pada 1512 memberi nama Cabo de Flores, Tanjung Bunga. Nama yang kemudian menggantikan nama asli pemberian penduduk lokal, Nusa Nipa atau Pulau Naga. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda tetap memakai nama Flores ketika mendapatkan wilayah ini dari Portugis 100 tahun kemudian.

    Demikian pula dengan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta, tetap menyebut pulau ini Flores dan memasukkannya dalam Provinsi Sunda Kecil. Sempat berpisah dari RI karena jadi bagian Negara Indonesia Timur, lalu kembali bergabung dengan RI menyusul ambruknya Republik Indonesia Serikat, nama Flores tetap melekat pada pulau satu ini.

    Sesuai namanya, Flores adalah sebuah pulau yang menyimpan begitu banyak keindahan dan pesona. Danau Kelimutu di Kabupaten Ende hanyalah salah satunya. Dari video-video yang saya tonton di YouTube, Flores memiliki begitu banyak pantai menawan. Pasirnya putih, dengan ombak tinggi bergulung-gulung dari perairan Laut Sawu dan Laut Flores yang mengelilingi pulau.

    Buat pecinta pantai berpasir putih dengan air laut biru kehijauan, kalian wajib datang ke Flores. Selain Pulau Flores, pulau-pulau kecil di sekitarnya juga menyimpan pesona pantai tak kalah mempesona. Tak jauh dari Labuan Bajo ada Pulau Bidadari dengan pantainya yang asri. Atau cobalah ke Pulau Adonara di sebelah timur Flores, di sana ada Pantai Mekko yang sangat memukau.

    Bila punya waktu sangat longgar, Taman Wisata Alam 17 Pulau Riung jadi destinasi yang sangat layak disambangi. Angka 17 tersebut benar-benar mewakili 17 pulau yang ada di sekitaran Teluk Riung. Tempat ini dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama nyaris lima jam dari Labuan Bajo. Namun lelah yang melanda bakal terbayar lunas menyaksikan keindahan pemandangan laut dan pantai berpasir putih bersih yang tersaji di ke-17 pulau.

    Ah, saya lupa. Pasir pantai tak selalu berwarna putih. Di Pulau Komodo, kita bisa berjalan-jalan menyusuri sebuah pantai yang pasirnya berwarna merah jambu. Turis mancanegara menyebutnya sebagai Pink Beach, sedangkan penduduk lokal menamainya Pantai Merah. Ya, pasir pantai ini berwarna kemerahan. Hanya ada tujuh pantai di dunia yang pasirnya berwarna merah muda begini.

    Sudah sampai di Pulau Komodo, sempatkan waktu untuk mengamati kehidupan hewan langka bernama sama dengan pulau di mana mereka tinggal. Komodo sudah lama jadi perhatian dunia karena keunikannya. Tahun 2011, Pulau Komodo masuk daftar New 7 Wonders of Nature versi New7Wonders Foundation. Lalu tercantum dalam pemenang sementara yang dirilis 11 November 2011.

    Meski event garapan New7Wonder Foundation tersebut berbau kontroversi – termasuk penyelenggaranya diragukan, tapi setidaknya menunjukkan bahwa komodo dan Pulau Komodo mendapat perhatian luas di mancanegara. Pesonanya sudah lama memikat wisatawan dari berbagai negara.

    Bung Karno dan Secangkir Kopi

    Tapi Flores bukan cuma soal pantai indah, laut mempesona, atau komodo yang gagah. Di sini juga tersimpan sejarah bangsa dan negara. Proklamator negeri ini, Bung Karno, pernah tinggal di Flores selama empat tahun sembilan bulan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membuangnya ke Ende untuk meredam aktivitas politik Sang Proklamator di Batavia.

    Ada 10 situs penting terkait pengasingan Bung Karno di Bumi Flores. Di antaranya rumah pengasingan yang terletak di Jl. Perwira. Di rumah inilah Bung Karno menghabiskan kesehariannya dalam masa pembuangan bersama Ibu Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, serta ibu mertuanya.

    Rumah pengasingan Bung Karno di Ende terawat dengan sangat baik. Kondisinya masih sama persis seperti saat Bung Karno menempatinya dalam rentang waktu 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Berkunjung ke rumah ini kita diajak turut merasakan hari-hari Bung Karno selama menjalani masa pengasingan.

    Semasa di Ende inilah Bung Karno melahirkan rumusan Pancasila yang kelak jadi dasar Republik Indonesia. Menurut pengakuannya sendiri saat mengunjungi Ende sebagai Presiden RI pada tahun 1955, Bung Karno menyebut gagasan Pancasila lahir saat ia tengah merenung di bawah sebuah pohon sukun di pusat kota. Tempat dimaksud kini menjadi taman kota bernama Taman Renungan Soekarno, dengan Jl. Soekarno berada di sisinya.

    Bung Karno penyuka kopi. Favoritnya kopi tubruk yang biasa ia seruput pagi-pagi di Istana sebelum menjalankan tugas negara. Demikian diceritakan Mangil Martowidjojo, eks Komandan Detasemen Kawal Pribadi Cakrabirawa yang mendampingi Bung Karno, dalam bukunya berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 (Grasindo, 1999).

    Sayang, tak ada yang mengungkapkan apakah Bung Karno pernah mencicipi kopi Bajawa atau kopi Wae Rebo semasa tinggal di Flores. Sebab bagi penyuka kopi tak lengkap rasanya mendatangi Flores tanpa mencicipi kopi-kopinya yang khas.

    Wae Rebo sebuah kampung tradisional yang terletak di barat daya Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT. Kampung ini hanya berisi tujuh rumah adat berbentuk kerucut dengan kerangka bambu dan atap dari daun lontar. Orang lokal menyebut rumah ini mbaru niang. Berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Waerebo dikelilingi oleh perkebunan kopi nan luas.

    Kopi dan Wae Rebo memang tak bisa dipisahkan. Warga Waerebo sangat akrab dengan kopi. Mereka bisa mereguk hingga 8-10 gelas kopi sehari. Tak heran jika banyak penyuka kopi yang sengaja datang ke sini hanya untuk mencicipi kopinya yang khas. Tumbuh di dataran tinggi serta tak tersentuh unsur kimia buatan sedikitpun, cita rasa kopi Wae Rebo banyak disukai oleh pecinta minuman berwarna hitam ini.

    Bergeser ke timur, ada Kabupaten Ngada sebagai penghasil kopi terbesar di Flores. Kopi Bajawa hasil panen petani Ngada malah sudah diekspor ke mancanegara. Tahun 2011, seorang pengusaha Amerika Serikat memesan 1.000 ton kopi arabika organik (sumber).

    Tak cuma AS, peminat juga datang dari Belanda, Jerman, Inggris, Filipina, dan yang terdekat dari Australia. Masing-masing pesanan berkisar antara 1.000-2.000 ton. Membuktikan betapa kualitas kopi Bajawa telah diakui dunia. So, rugi rasanya kalau ke Flores tak mencicipi kopi Bajawa.

    Kearifan Lokal yang Terus Dijaga

    Tak jauh dari Bajawa, ada sebuah kampung adat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai dan budaya lokal. Kampung Bena namanya. Masuk ke dalam kampung ini kita serasa mundur ke jaman ratusan tahun lalu. Benar-benar sebuah kampung tradisional.

    Terletak di puncak sebuah bukit menghadap Gunung Inerie, Kampung Bena terdiri dari 40 rumah tradisional. Dari kejauhan, Kampung Bena memanjang dari utara ke selatan terlihat seperti bentuk perahu. Pintu masuk berada di sisi utara, satu-satunya akses menuju ke kampung ini. Pada bagian ujung selatan merupakan puncak kampung dengan pemandangan alam mempesona.

    Meski memeluk agama Katolik, warga Kampung Bena masih melestarikan tradisi leluhur. Di tengah-tengah Kampung Bena terdapat beberapa bangunan megalitikum. Salah satunya berbentuk perahu, tempat di mana upacara adat dilaksanakan.

    Perahu dalam kepercayaan masyarakat Kampung Bena merupakan wahana untuk menuju ke alam roh setelah kematian. Bentuk perahu juga menggambarkan perjalanan nenek moyang penduduk Kampung Bena yang berperahu mengarungi ganasnya lautan dari Pelabuhan Juwana di Pati, Jawa Tengah, sebelum tiba di kampung tersebut.

    Pemandangan serupa juga bisa kita saksikan di Ware Rebo. Sebuah perkampungan adat yang masih mengaplikasikan ajaran leluhur dalam kehidupan keseharian. Ciri khas Wae Rebo adalah mbaru niang, rumah adat yang didirikan tanpa paku. Hanya menggunakan bambu, kayu, atau rotan, dengan atap terbuat dari daun lontar, ijuk, atau ilalang.

    Di Wae Rebo biasa digelar perayaan Penti, salah satu perayaan besar di Manggarai. Penti digelar setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh selama setahun, sekaligus doa dan harapan agar hasil tahun mendatang tak kalah bagus. Tahun ini, Penti direncanakan berlangsung pada 16 November 2016.

    Jika Kampung Bena mudah dicapai menggunakan kendaraan bermotor, tidak demikian dengan Wae Rebo. Pengunjung harus menempuh rute mendaki nan terjal dan sedikit licin berjarak sekitar 5 kilometer. Melintasi Hutan Lindung Todo Repok nan asri, sampai ke ketinggian 1.200 mdpl. Terbayang kan bagaimana sejuknya tempat ini.

    *****
    Ah, masih sangat banyak pesona Flores yang tidak bisa dilewatkan. Tak cukup waktu 2-3 hari untuk menjelajahinya, karena dari Labuan Bajo di ujung barat hingga Larantuka di ujung timur tersaji keindahan alam yang menawan diselingi kearifan lokal nan menenteramkan sanubari.

  • Pesona Wisata Pangkalpinang Warisan Tambang Timah Era Kolonial

    “MAMPIRLAH sekalian ke Pangkalpinang, Ko. Kito jalan-jalan di sini,” undang Ryan begitu tahu saya akan ke Palembang, beberapa waktu lalu. Undangan yang sangat menarik sebenarnya.

    Sayang sekali saya harus mengikuti serangkaian agenda yang telah ditentukan pihak pengundang di Palembang, sehingga tak bisa menyempatkan waktu mampir ke sana-sini. Bahkan tiket pulang pun sudah dibelikan.

    Sori nian, Yan. Kagek lain kalilah aku mampir,” balas saya dengan penuh rasa sesal.

    Nama lengkapnya Novrian Saputra, teman SMA saya di Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Ia sebenarnya adik kelas, tetapi kami satu grup di band sekolah. Ryan vokalis, saya pegang alat.

    Kontrakan saya juga dekat sekali dengan rumah Ryan semasa di Muara Bulian, jadi kami sangat akrab karena nyaris setiap hari bermain bersama. Karena kedekatan tersebut, saya jadi kenal dengan saudara-saudaranya dan beberapa kali bertemu dengan ayah-ibunya.

    Selepas SMA saya tak lagi mendengar kabar mengenai Ryan. Kami hilang kontak selama belasan tahun, sampai kemudian Facebook mempertemukan kami kembali.

    Mercusuar di Pulau Lengkuas, salah satu ikon pariwisata Provinsi Bangka Belitung. FOTO: Getty Images/iStockphoto

    Rupanya Ryan balik kampung ke Pulau Bangka, ketika itu ia menjadi wakil ketua KPID setempat. Hubungan kami semakin intens semenjak Dodi Rozano yang ternyata adiknya menjadi kontestan The Voice Indonesia.

    Awalnya saya tidak hirau sama sekali dengan acara The Voice Indonesi. Sampai suatu ketika status Ryan di Facebook membuat sikap saya berubah. Ryan rajin sekali menggalang dukungan untuk Dodi, membuat saya ikut-ikutan memberi support via media sosial.

    Aih, Dodi si bocah cilik itukah? Batin saya sembari mengingat-ingat masa lalu di Muara Bulian.

    Semasa kami di Muara Bulian, Dodi masih sangat kecil. Kalau tak salah usianya kisaran 4-5 tahun. Yang jelas dia belum sekolah waktu itu. Dodi kecil sering saya lihat tengah bermain-main bersama teman-temannya di halaman rumah. (Baca kisah lengkapnya di blog pribadi saya: Sekelumit Kenangan bersama Dodi Rozano).

    Interaksi intens dengan Ryan dan juga Dodi setelah sangat lama tak bertegur sapa waktu itu membuat saya jadi berkhayal untuk berlibur ke Pangkalpinang. Kapan ya terwujud?

    Sejarah Timah Bangka

    Semasa SMA, dari Ryan-lah saya banyak mendengar cerita tentang Pulau Bangka, utamanya Kota Pangkalpinang. Ia sering bercerita tentang timah yang sempat jadi komoditas andalan daerah ini. Komoditas yang menjadi akar sejarah terbentuknya Bangka dan juga Pangkalpinang.

    Timah di Pulau Bangka sudah dieksplorasi sejak abad ke-16. Jauh sebelum bangsa Eropa mendarat di Nusantara, kongsi-kongsi asal Tiongkok sudah melakukan penambangan timah dengan seizin Sultan Palembang.

    Beberapa literatur sejarah menuturkan, nama Bangka diduga kuat berasal dari kata ‘vanca’ dalam bahasa Sanskerta. Artinya timah. Kata ini muncul bersama-sama nama Swarnabhumi — yang merujuk Pulau Sumatra — dalam kitab Milindrapantha, karya sastra India yang ditulis pada abad ke-1.

    Kata yang sama juga muncul dalam buku suci Hindu, Mahaniddesa, yang ditulis pada abad ke-3. Kata tersebut dilisankan ‘wangka‘ yang lalu bertransformasi menjadi ‘bangka’.

    Perubahan lafal “w” dalam bahasa Sanskerta menjadi “b” menurut lidah lokal Nusantara adalah hal jamak. Contoh lainnya nama Vasudeva (dibaca Wasudewa) dalam epos Mahabharata yang berubah menjadi Basudewa dalam dunia pewayangan Jawa.

    Suasana pertambangan timah di Bangka pada era kolonialisme Belanda. FOTO: KITLV

    Kembali ke timah, konon, timah Bangka memiliki kualitas sangat baik sehingga diminati dunia. Inilah yang kemudian mendorong Belanda datang untuk menguasai Bangka dengan segala cara.

    Pada masa penjajahan, Bangka menjadi pemasok timah terbesar di Asia, membuatnya dikenal luas di Eropa. Mengutip laporan berjudul Sejarah Perdagangan Timah di Pangkalpinang terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017), sekitar 83% timah dari Bangka membanjiri pasar Amsterdam pada medio abad ke-19. Bahkan seperempat kebutuhan timah Eropa dipasok dari Bangka.

    Eksplorasi awal timah Bangka oleh bangsa Belanda dilakukan pada tahun 1710. Muntok menjadi pusat kendali aktivitas pertambangan dan pengolahan komoditas tambang tersebut.

    Ketika Inggris berkuasa di Bangka, pada tahun 1813 East India Company menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu dari tujuh distrik eksplorasi timah. Enam distrik lainnya adalah Merawang, Toboali, Jebus, Klabat, Sungailiat, dan Belinyu.

    Semenjak itulah Pangkalpinang mendapat julukan Kota Timah dan berkembang menjadi pusat perdagangan ramai di jalur Selat Malaka.

    Lalu Belanda kembali berkuasa di Nusantara. Pangkalpinang dijadikan basis militer untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka.

    Tahun 1913, pemerintahan kolonial Belanda memindahkan ibukota Karesidenan Bangka dari Muntok ke Pangkalpinang. Perpindahan tersebut disebabkan oleh temuan deposit timah nan melimpah di kawasan timur Bangka.

    Di masa kemerdekaan, status Pangkalpinang terus berubah dari kota kecil pada tahun 1956, menjadi kotapraja dua tahun berselang, lalu berubah lagi menjadi kotamadya (1965), kotamadya daerah tingkat II (1974), sampai akhirnya ditetapkan sebagai Daerah Otonom Kota Pangkalpinang di tahun 1999.

    Museum Timah, saksi sejarah eksploitasi timah di Pulau Bangka. FOTO: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI

    Museum Timah

    Keberadaan Museum Timah di Pangkalpinang semakin menegaskan bahwa terbentuknya kota ini berawal dari timah. Di tempat inilah tersimpan sejarah panjang pertambangan timah sejak zaman kolonial Belanda.

    Benda-benda koleksi terkait aktivitas pertambangan juga ditampilkan. Mulai dari peralatan tambang zaman dahulu, sampai produk-produk kerajinan berbahan timah.

    Ada pula manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Dilengkapi dengan diorama dan lukisan-lukisan yang menggambarkan aktivitas pertambangan di masa penjajahan Belanda hingga masa modern.

    Hobi selfie? Tenang, ada banyak spot menarik untuk narsis di Museum Timah.

    Terdapat beberapa diorama berukuran besar yang cocok dijadikan latar belakang foto. Atau bisa juga berfoto di depan lukisan besar yang menggambarkan suasana pertambangan zaman kolonial.

    Di bagian luar, ada lokomotif hitam di halaman depan museum yang tak kalah menarik. Itu lokomotif penarik rangkaian gerbong yang memuat bijih timah hasil tambang.

    Oya, Museum Timah ini merupakan satu-satunya museum tentang timah di Asia. Beberapa sumber bahkan menyebut satu-satunya di dunia.

    Museum yang bangunannya buatan Belanda ini juga jadi saksi kunci sejarah berdirinya Republik Indonesia. Di gedung inilah delegasi Republik Indonesia berunding dengan delegasi Kerajaan Belanda berkat mediasi Komisi Tiga Negara (KTN). Hasilnya adalah Perjanjian Roem-Roijen yang diteken di Jakarta pada 7 Mei 1949.

    Salah satu diorama di Museum Timah, menggambarkan suasana pertambangan timah pada masa lampau. FOTO: Tribunnews/Bangka Pos

    Museum Timah tak cuma didatangi oleh wisatawan lokal, lo. Banyak turis asal Belanda yang berkunjung ke tempat ini karena alasan asal-usul. Ada yang nenek moyangnya pernah bekerja di perusahaan timah di Bangka, beberapa lainnya malah lahir di Bangka sebelum dibawa pulang ke Belanda.

    Selain Museum Timah, turis-turis Belanda tersebut biasanya mendatangi kerkhof atau pemakaman Belanda yang terletak sekitar 2 km di selatan museum. Di sini terdapat sekitar 102 makam, sebagian besar dalam kondisi rusak.

    Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi dan Balai Arkeologi Palembang, makam tertua berangka tahun 1800 dan yang termuda berangka tahun 1954. Artinya, orang Belanda telah bermukim di Bangka sejak akhir abad ke-18.

    Meski disebut makam Belanda, atau Pendem Belanda oleh penduduk setempat, tak semua yang dimakamkan di kerkhof ini orang Belanda. Data BP3 Jambi menyebutkan, dari sekian nisan yang bisa terbaca 25 buah diantaranya berbahasa Belanda, 10 berbahasa Jepang dan 3 berbahasa Indonesia.

    Sama halnya Museum Timah, keberadaan kerkhof di Jalan Hormen Maddati ini menjadi bukti peran strategis Pangkalpinang di masa lalu.

    Taman Bekas Tambang Timah

    Masifnya aktivitas tambang timah di Bangka membuat beberapa bagian lahan di wilayah ini mengalami kerusakan parah. Kalau kita naik pesawat dan mendekati Bandara Depati Amir, terlihat bentangan alam berupa padang gersang dengan beberapa lubang besar.

    Tanaman sulit tumbuh akibat parahnya kerusakan tanah yang terjadi. Pada musim hujan, lubang-lubang besar akibat aktivitas tambang berubah menjadi kolam-kolam berair keruh.

    Sebagai bentuk kepedulian, sebuah perusahaan pertambangan timah bernama PT Dona Kembara Jaya melakukan gerakan pemulihan lahan tambang di kawasan Ketapang, Kota Pangkalpinang. Kegiatan ini diawali sejak tahun 2006, di atas lahan seluas 200 hektar.

    Awalnya lokasi ini hanya untuk menanam bibit-bibit pohon yang akan dipakai mereklamasi lahan bekas tambang. Belakangan, pengelola kawasan kemudian mengembangkan lahan sebagai kompleks agrowisata terpadu. Di sini juga terdapat peternakan dan perikanan.

    Deretan pohon cemara roro yang menyambut pengunjung di Bangka Botanical Garden. FOTO: Indonesia Kaya

    Lalu diperkenalkanlah Bangka Botanical Garden (BBG) sebagai destinasi wisata baru di Kota Pangkalpinang. Lahan yang dulunya rusak parah penuh lubang telah berubah menjadi kebun luas yang menyejukkan.

    Tempat ini segera saja menjadi favorit bagi pengunjung yang ingin merasakan ketenangan di tengah-tengah kehijauan pepohonan nan asri.

    Begitu masuk ke area BBG, pengunjung disambut oleh deretan pohon cemara roro yang berjajar di kiri-kanan jalan tanah. Lebih ke dalam lagi terdapat rumah-rumah panggung berbahan kayu. Di sekitar rumah terdapat beberapa kolam berisi ikan nila, ikan mas, mujair, patin dan kepiting.

    Di bagian lain terdapat kebun buah naga. Di sini pengunjung dapat memetik buah naga yang matang langsung dari pohonnya. Mau dimakan di tempat juga boleh, lo.

    Ada pula pohon kurma yang tumbuh subur dengan dahan-dahan menghijau. Jika sedang panen bayam, pengunjung juga boleh membeli sayur-sayuran segar tersebut untuk dibawa pulang.

    Rekreasi di Bangka Botanical Garden kian lengkap dengan keberadaan kuda. Pengunjung dipersilakan menaiki kuda-kuda ini untuk mengelilingi area kebun. Pengelola menyiapkan pemandu yang siap membantu pengunjung mengendarai kuda.

    Hewan lain yang dipelihara di di sini adalah sapi. Sapi jenis Friesland Holstein asli Belanda jadi populasi terbanyak. Sapi-sapi ini dibudi-dayakan sebab dikenal dapat menghasilkan susu terbaik.

    Pengunjung dapat menyaksikan proses pemerahan susu. Pada momen-momen tertentu susu-susu ini dibagikan secara gratis kepada wisatawan.

    Wow!

    Kebun buah naga di Bangka Botanical Garden. FOTO: Bangka Pos

    Destinasi Liburan Impian

    Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk memenuhi undangan Ryan waktu itu. Toh, saya sudah berada di Palembang.

    Dari ibukota Provinsi Sumatera Selatan tersebut ada penerbangan langsung ke Pangkalpinang setiap hari. Ada pula kapal cepat dari Pelabuhan Boom Baru menuju ke Pelabuhan Muntok. Sayang disayang, waktu itu saya sudah terlanjur dibelikan tiket Palembang-Jakarta.

    Keinginan mengunjungi Pangkalpinang kembali muncul saat Dodi Rozano masih bertahan di The Voice Indonesia. Saya ingin menyaksikan aksinya di atas panggung secara langsung, bukan di layar televisi atau melalui YouTube.

    Lagi-lagi keinginan ini gagal terwujud karena satu dan lain hal. Mudah-mudahan saja ada jalan lain yang mengantar saya ke Pangkalpinang.

    Reuni dengan Ryan bakal jadi agenda utama saya. Kami sudah tak bertemu sejak tahun 2000, alias 24 tahun lamanya! Lalu menyaksikan performa Dodi Rozano bersama Pesirah Band harus masuk daftar. Dodi sering mendapat tawaran tampil, jadi mumpung ke Pangkalpinang harus cari kesempatan untuk melihat aksinya.

    Pendek kata, semua alasan di atas menjadikan Pangkalpinang sebagai destinasi liburan impian saya. Apalagi kota ini tergolong plesirable, alias punya banyak sekali destinasi wisata menarik untuk yang hobi plesir alias traveling.

    Apa saja?

    Pantai Pasir Padi, memiliki susunan bebatuan yang identik dengan lokasi syuting film Laskar Pelangi. FOTO: Bangka Tour

    Pantai Pasir Padi

    Bersebelahan dengan Bangka Botanical Garden terdapat Pantai Pasir Padi. Di sini kita dapat melihat batu-batu granit nan eksotis di pantai. Ya, mirip seperti di Pantai Tanjung Tinggi yang jadi lokasi syuting Laskar Pelangi itu. Hanya ukuran batu-batunya lebih kecil.

    Keunikan Pantai Pasir Padi terletak pada bentuk pasirnya. Tentu bukan tanpa alasan pantai ini dinamai Pasir Padi. Bentuk pasirnya memang seperti bulir-bulir padi yang panjang.

    Keunikan bentuk tersebut disebabkan kandungan pasir timah yang terdapat di pantai. Karenanya pasir di Pantai Pasir Padi lebih padat dari pantai-pantai biasanya sehingga nyaman untuk berjalan kaki, juga bisa dilalui kendaraan.

    Selain menikmati pasirnya yang unik, pantainya yang landai, serta birunya air laut, pengunjung Pantai Pasir Padi dapat menyeberang ke sebuah pulau kecil nan indah bernama Pulau Punai.

    Pulau ini terbentuk dari bebatuan dan karang, berjarak sejauh kurang-lebih 200 meter dari bibir pantai. Jika air laut surut, kita dapat menyeberang ke Pulau Punai dengan berjalan kaki.

    Yang menarik, Pemerintah Kota Pangkalpinang tengah merancang megaproyek bernama Pangkalpinang Waterfront City di Pantai Pasir Padi. Kelak, di seberang pantai bakal terdapat sebuah kota di atas daratan buatan seluas 1.700 hektar. Proyek bernilai Rp 2 triliun ini digagas sejak 2006 dan hingga kini terus digodog realisasinya.

    Pasir Padi terletak sangat dekat dari Kota Pangkalpinang. Kira-kira berjarak 8 km dari pusat kota. Jadi, tidak sah mengunjungi Pangkalpinang kalau tidak main air laut di pantai ini.

    Kelenteng Dewi Kwan Im di dekat Pantai Sampur. FOTO: Pinterest

    Pantai Sampur dan Pantai Tapak Hantu

    Agak jauh dari kota, ada Pantai Sampur atau Pantai Samfur. Ciri khas pantai satu ini adalah keberadaan kelenteng Dewi Kwan Im, lengkap dengan patung besar sang dewi di salah satu bagian kelenteng.

    Kelenteng ini milik seorang tabib keturunan Tionghoa. Terdapat satu ruangan khusus pengobatan di mana sang tabib menjalankan praktik.

    Satu lagi pantai di Pangkalpinang dengan ciri khas menarik adalah Pantai Tapak Antu atau Pantai Tapak Hantu. Disebut demikian karena pada bebatuan di pantai terdapat lubang-lubang berbentuk jejak kaki. Seperti jejak kaki manusia, tetapi berukuran lebih panjang.

    Penduduk setempat mempercayai bahwa lubang-lubang tersebut merupakan jejak kaki hantu. Dari kepercayaan itulah nama Pantai Tapak Antu muncul.

    Namun ada pula warga yang menamai pantai ini sebagai Pantai Tapak Dewa atau Pantai Telapak Kaki Dewa. Tentu ini karena warga di pihak ini percaya jika lubang-lubang di pantai adalah jejak kaki dewa yang turun ke bumi.

    Secara administratif, Pantai Tapak Antu berada di Desa Batu Berlubang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Namun jaraknya sangat dekat dengan Kota Pangkalpinang. Jika ditarik garis lurus, pantai ini hanya berjarak 6 km dari Bandara Depati Amir.

    ***

    Dengan kisah sejarah lampau dan pesonanya yang seperti ini, Pangkalpinang wajib masuk dalam daftar destinasi impian siapapun yang suka traveling. Ayo, segera susun jadwal untuk plesiran ke Pulau Bangka.

  • Kilasan Sejarah Jakarta di Sepanjang Rel Kereta Menuju Kota Tua

    DI suatu pagi yang cerah di Jakarta, adik perempuan saya mencetuskan ide yang langsung saya setujui: menghabiskan seharian penuh ke Kota Tua. Terlebih adik satunya lagi usul untuk berangkat menggunakan KAI Commuter atau kadung populer dengan sebutan KRL.

    Ceritanya ketika itu saya tengah singgah di kontrakan adik di kawasan Palmerah Barat, setelah sebelumnya mendarat dari Lampung. Karena KA Tawang Jaya yang hendak saya tumpangi untuk kembali ke Pemalang baru berangkat tengah malam, pagi sampai sore saya bebas.

    Bagi peminat sejarah sekaligus railfans seperti saya, tawaran tersebut merupakan paket kombo yang sangat tidak mungkin ditolak. Bahkan rangkaian kereta api sepanjang perjalanan menuju kawasan Kota Tua saja sudah mengandung sejarahnya sendiri.

    Itulah sebabnya saya tidak perlu berpikir dua kali. Pun tidak berpikir panjang dan langsung menyetujui ajakan tadi. Karena semuanya sudah mandi, kami pun segera berangkat. Berempat: saya, adik perempuan dan suaminya, plus adik bungsu yang kala itu kuliah di Bogor.

    Sekeluar dari kontrakan adik dan suaminya di tengah-tengah padatnya pemukiman khas Jakarta, kami mencegat angkot berwarna kulit telur asin. Turun di sudut Pasar Palmerah yang biasa disebut Pasar Pisang, perjalanan lantas dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Stasiun Palmerah.

    Oya, alasan adik bungsu mengajak naik KAI Commuter adalah karena ini cara yang praktis dan ekonomis Kami tidak perlu bermacet-macetan sambil kepanasan di jalan. Juga tidak perlu bingung mencari tempat parkir setibanya di tujuan nanti.

    Lagipula Stasiun Palmerah berada tak jauh dari tempat kontrakan adik. Tinggal sekali naik angkot yang memakan waktu kira-kira lima-enam menit perjalanan.

    Mapolsek Palmerah Barat, dulunya adalah rumah megah milik seorang pembesar VOC. FOTO: Wikipedia

    Patok Merah

    Kilasan dari masa lampau langsung muncul di kepala saya ketika angkot melintas di depan Mapolsek Metro Palmerah. Bangunan di dekat Kali Grogol inilah yang mengawali kawasan Palmerah sebagai sebuah pemukiman.

    Dulunya gedung tersebut merupakan kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat tinggi VOC di Batavia. Bangunan berusia dua abad ini dulunya dikenal sebagai Gedong Tinggi Palmerah (sumber).

    Disebut ‘gedong tinggi’ karena memang merupakan bangunan tertinggi di Palmerah pada masanya. Sedangkan nama Palmerah sendiri berasal dari keberadaan patok-patok penanda di pinggir sepanjang jalan daerah ini.

    Dari satu patok ke patok berikutnya disebut paal, berjarak 1,5 kilometer. Karena warna patoknya merah, jadilah sebutan paal merah.

    Setelah Hartsinck membangun landhuis miliknya, lambat laun kawasan tersebut semakin ramai penduduk. Sampai jadilah Palmerah seperti yang kita lihat sekarang.

    Setibanya di stasiun, adik bungsu langsung menuju mesin penjualan tiket. Saya membuntuti di belakangnya, sembari bersiap-siap mengeluarkan uang dari dalam dompet. Maklumlah, namanya juga sulung 🙂

    Adik bungsu saya rutin mengunjungi kakak perempuannya di Jakarta. Dari dan ke Bogor selalu menumpang KAI Commuter. Karena itulah di antara kami berempat, dia yang paling paham tata cara ber-commuter ria.

    Dengan gesit jemari adik bungsu memencet-mencet tombol pada mesin, lalu berkata pada saya yang sudah berdiri di sebelahnya, “Empat puluh delapan ribu.”

    Saya langsung mengangsurkan uang Rp50.000 yang lantas dimasukkan adik bungsu ke dalam mesin. Tak lama berselang keluar empat buah kartu tiket dan selembar Rp2.000.

    Saya lupa berapa tarif asli Palmerah-Jakartakota ketika itu. Yang jelas, sebagian dari Rp48.000 tadi adalah uang jaminan untuk empat kartu tadi. Nanti sesampainya di Stasiun Jakartakota, tinggal masukkan saja kartu tersebut ke dalam mesin dan uang jaminan dikembalikan.

    Bangunan lama Stasiun Palmerah, sisa-sisa sekaligus saksi sejarah berkembangnya daerah Palmerah seturut pembangunan rel kereta api yang melintasi kawasan ini. FOTO: kai.id

    Stasiun Lawas, Pasar Lawas

    Dari tempat kami masuk, Stasiun Palmerah tampak sangat modern. Sama sekali tidak terlihat jika bangunan ini merupakan stasiun lawas peninggalan era Hindia Belanda. Saksi bisu perkembangan kawasan Palmerah hingga Senayan.

    Stasiun Palmerah sudah berdiri sejak 1890-an. Pembangunannya dilakukan oleh Staatsspoorwegen Netherlandsch-Indie, sebuah maskapai sepur bentukan pemerintah Hindia Belanda. Cikal bakal PJKA PT Kereta Api Indonesia.

    Pembangunan Stasiun Palmerah bersamaan dengan pengembangan jalur trem uap dari Batavia menuju Tangerang. Jalur tersebut berpangkal dari Stasiun Duri yang telah lebih dulu beroperasi, tepatnya sejak 2 Januari 1878, dan berakhir di Paal Merah (sumber).

    Proyek pengembangan ini selesai pada trimester akhir 1899. Stasiun Palmerah, bersama-sama Stasiun Tanah Abang, mulai beroperasi sejak Oktober tahun tersebut (sumber).

    Untuk menuju Jakartakota kami harus transit dua kali. Transit pertama di Stasiun Tanah Abang, tidak jauh dari titik keberangkatan. Stasiun yang berdekatan dengan pasar tertua di Jakarta, bahkan mungkin juga di Indonesia.

    Ya, Pasar Tanah Abang yang saya maksud. Pasar yang dibangun bersamaan dengan Pasar Senen di Weltevreden dan mulai aktif beroperasi sejak 30 Agustus 1735 (sumber). Artinya, pasar ini telah berusia 288 tahun!

    Dibangun oleh Justinus Vinck, seorang anggota legislatif sekaligus tuan tanah yang menguasai berhektar-hektar lahan di kawasan Tanah Abang hingga Senen, sejak awal Pasar Tanah Abang diplot sebagai pusat tekstil dan barang kelontong (sumber).

    Karena hanya boleh beroperasi setiap Sabtu, dulu Pasar Tanah Abang disebut Pasar Sabtu. Nama lainnya adalah Vinck Passer, pasarnya Vinck. Sebuah nama yang sulit diucapkan lidah pribumi.

    Ketika terjadi Geger Pecinan di Batavia, Pasar Tanah Abang turut terkena imbas. Bangunan pasar dirusak dan dibakar dalam kisruh yang menewaskan banyak sekali etnis Tionghoa tersebut.

    Setelah kejadian tersebut Pasar Tanah Abang terus mengalami perbaikan. Pada 1751, izin operasionalnya ditambah menjadi dua kali sepekan: Rabu dan Sabtu. Lalu pada 1926, pemerintah Batavia mengganti fisik pasar menjadi bangunan permanen (sumber).

    Suasana di kawasan Pasar Tanah Abang pada sekitar 1900-an. FOTO: Troppenmuseum/Wikipedia

    Pusat Perbudakan Batavia

    Setelah Stasiun Tanah Abang, tempat transit kedua adalah Stasiun Manggarai. Lagi-lagi tempat di Jakarta yang menyimpan kisah dari masa penjajahan.

    Stasiun Manggarai terhitung lebih muda dibandingkan dua stasiun sebelumnya. Dibangun sejak 1914, bangunan karya arsitek Ir. J. van Gendt tersebut mulai beroperasi pada 1 Mei 1918.

    Pada masa itu, kawasan Manggarai masuk dalam wilayah Gementee Meester Cornelis. Namanya diambil dari nama tempat asal kebanyakan penduduknya: Manggarai, Flores Barat.

    Orang-orang Manggarai didatangkan oleh Jan Pieterszoon Coen usai penaklukan Jayakarta pada 1619. Mereka dijadikan budak dan dipekerjakan untuk membangun sebuah kota baru yang oleh Coen diberi nama Batavia.

    Karena tidak boleh tinggal di dalam benteng kota, budak-budak Flores tadi bermukim di pinggiran Batavia. Pemukiman itulah yang kemudian menjadi Kampung Manggarai (sumber).

    Dalam perkembangannya, yang didatangkan ke Batavia tidak hanya budak lelaki. Para perempuan Flores juga ikut dibawa sebagai pemuas nafsu para pembesar VOC dan kalangan saudagar.

    Perbudakan lantas merebak luas di Batavia. Pejabat-pejabat VOC dan para pedagang menjadikan kepemilikan budak sebagai tolok ukur kesuksesan mereka. Jadi bahan adu gengsi.

    Seorang saudagar berkebangsaan Belanda, Van Riemsdijk, konon memiliki budak terbanyak pada masa itu. Jumlahnya bukan lagi belasan atau puluhan, melainkan 200 orang!

    Hingga 1814, terdapat sekitar 14.000-an budak di Batavia. Sebagian besar berasal dari Flores. Barulah pada 1860 praktik perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda (sumber).

    Di luar sejarah kelam tersebut, Stasiun Manggarai menjadi saksi bisu perpindahan ibukota negara ke Yogyakarta. Dari stasiun inilah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta diberangkatkan secara diam-diam ke ibukota baru pada 4 Januari 1946 (sumber).

    Penampakan Stasiun Manggarai pada 1920-an. FOTO: KITLV/kai.id

    Stasiun Karya Putera Tulungagung

    Usai transit cukup lama di Stasiun Manggarai, perjalanan kami kembali berlanjut begitu rangkaian commuter yang ditunggu-tunggu datang. Kali ini durasi perjalanan berlangsung lebih lama dari sebelum-sebelumnya.

    Tepat menjelang tengah hari tibalah kami berempat di Stasiun Jakartakota. Sebuah stasiun ujung, terminus, dengan bangunan bergaya art deco yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

    Saya langsung terkesima menyaksikan kemegahan stasiun ini. Bangunannya tampak sangat megah, tetapi anggun. Langit-langitnya yang melengkung tinggi membuat suasana di dalam stasiun begitu sejuk.

    Keberadaan Stasiun Jakartakota berawal dari sebuah stasiun rintisan yang dikenal sebagai Batavia Zuid. Dibangun pada 1887, stasiun di sisi selatan Gementee Batavia ini ditutup pada 1926 untuk direnovasi.

    Proyek renovasi dikerjakan oleh arsitek kelahiran Tulungagung, Frans Johan Louwrens Ghijsels, dan selesai pada 19 Agustus 1929. Hasilnya adalah bangunan stasiun megah yang hingga kini masih dapat kita saksikan bersama.

    8 Oktober 1929, Stasiun Jakartakota kembali beroperasi. Acara peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal jhr. A.C.D. de Graeff dan diberitakan berlangsung sangat meriah (sumber).

    Sekeluar dari stasiun, lagi-lagi saya dibuat takjub ketika melalui penyeberangan bawah tanah. Setelah mengisi perut di lapak Soto Lamongan dekat air mancur, kami meneruskan langkah menuju kawasan Kota Tua.

    Dan … sampailah saya di kawasan yang merupakan saksi bisu perjalanan bangsa selama ratusan tahun. Bahkan mungkin lebih lama lagi jika perhitungannya dimulai dari masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.

    Ya, Batavia.

    Suasana di halaman depan Stasiun Jakartakota, pintu masuk menuju kawasan Kota Tua Jakarta bagi pengguna kereta KAI Commuter. FOTO: Wikipedia

    Bandar Niaga Rebutan

    Pada mulanya adalah Kalapa, bandar niaga yang terletak di mulut sebuah teluk strategis di pantai utara Yawadwipa. Kota pelabuhan inilah cikal bakal Jakarta masa kini.

    Sejak abad ke-5, Kalapa sudah menjadi salah satu pelabuhan penting dalam rute pelayaran Tiongkok-India yang melintasi Selat Malaka. Masuk dalam rute perdagangan laut antarnegara, baik Jalur Sutera maupun Jalur Rempah.

    Karena itu Kalapa adalah pelabuhan dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal dagang dari Sriwijaya, Madura, Makassar, juga Malaka, Tiongkok Selatan, Ryu Kyu (Jepang), Gujarat hingga Arab banyak singgah untuk berdagang di sana.

    Peran pentingnya dalam lalu lintas laut membuat Kalapa selalu jadi rebutan. Kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa saling sikut untuk mendapatkannya. Lalu sejak awal abad ke-16, kekuatan asing turut ingin menguasai jalabuhan ini pula.

    Dari awalnya berada di bawah kendali Kerajaan Tarumanagara, penguasaan Kalapa terus gonti-ganti selama ratusan tahun. Sampai akhirnya jatuh ke tangan VOC sejak 30 Mei 1619, momen yang mengawali masa-masa penjajahan terhadap leluhur kita.

    Setelah VOC bubar pada 31 Desember 1799, Kerajaan Belanda mengambil alih penguasaan Nusantara. Lalu dibentuklah Hindia Belanda pada 19 Agustus 1816.

    Pemerintahan kolonial inilah yang kemudian membangun banyak infrastruktur penting di bumi Nusantara. Infrastruktur yang sebagian besar wujud sekaligus fungsinya masih dapat kita nikmati hingga sekarang.

    Termasuk, tentu saja, rangkaian jalur kereta api di mana KAI Commuter yang saya dan adik-adik tumpangi melintas di atasnya.