DI suatu pagi yang cerah di Jakarta, adik perempuan saya mencetuskan ide yang langsung saya setujui: menghabiskan seharian penuh ke Kota Tua. Terlebih adik satunya lagi usul untuk berangkat menggunakan KAI Commuter atau kadung populer dengan sebutan KRL.

Ceritanya ketika itu saya tengah singgah di kontrakan adik di kawasan Palmerah Barat, setelah sebelumnya mendarat dari Lampung. Karena KA Tawang Jaya yang hendak saya tumpangi untuk kembali ke Pemalang baru berangkat tengah malam, pagi sampai sore saya bebas.

Bagi peminat sejarah sekaligus railfans seperti saya, tawaran tersebut merupakan paket kombo yang sangat tidak mungkin ditolak. Bahkan rangkaian kereta api sepanjang perjalanan menuju kawasan Kota Tua saja sudah mengandung sejarahnya sendiri.

Itulah sebabnya saya tidak perlu berpikir dua kali. Pun tidak berpikir panjang dan langsung menyetujui ajakan tadi. Karena semuanya sudah mandi, kami pun segera berangkat. Berempat: saya, adik perempuan dan suaminya, plus adik bungsu yang kala itu kuliah di Bogor.

Sekeluar dari kontrakan adik dan suaminya di tengah-tengah padatnya pemukiman khas Jakarta, kami mencegat angkot berwarna kulit telur asin. Turun di sudut Pasar Palmerah yang biasa disebut Pasar Pisang, perjalanan lantas dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Stasiun Palmerah.

Oya, alasan adik bungsu mengajak naik KAI Commuter adalah karena ini cara yang praktis dan ekonomis Kami tidak perlu bermacet-macetan sambil kepanasan di jalan. Juga tidak perlu bingung mencari tempat parkir setibanya di tujuan nanti.

Lagipula Stasiun Palmerah berada tak jauh dari tempat kontrakan adik. Tinggal sekali naik angkot yang memakan waktu kira-kira lima-enam menit perjalanan.

Mapolsek Palmerah Barat, dulunya adalah rumah megah milik seorang pembesar VOC. FOTO: Wikipedia

Patok Merah

Kilasan dari masa lampau langsung muncul di kepala saya ketika angkot melintas di depan Mapolsek Metro Palmerah. Bangunan di dekat Kali Grogol inilah yang mengawali kawasan Palmerah sebagai sebuah pemukiman.

Dulunya gedung tersebut merupakan kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat tinggi VOC di Batavia. Bangunan berusia dua abad ini dulunya dikenal sebagai Gedong Tinggi Palmerah (sumber).

Disebut ‘gedong tinggi’ karena memang merupakan bangunan tertinggi di Palmerah pada masanya. Sedangkan nama Palmerah sendiri berasal dari keberadaan patok-patok penanda di pinggir sepanjang jalan daerah ini.

Dari satu patok ke patok berikutnya disebut paal, berjarak 1,5 kilometer. Karena warna patoknya merah, jadilah sebutan paal merah.

Setelah Hartsinck membangun landhuis miliknya, lambat laun kawasan tersebut semakin ramai penduduk. Sampai jadilah Palmerah seperti yang kita lihat sekarang.

Setibanya di stasiun, adik bungsu langsung menuju mesin penjualan tiket. Saya membuntuti di belakangnya, sembari bersiap-siap mengeluarkan uang dari dalam dompet. Maklumlah, namanya juga sulung 🙂

Adik bungsu saya rutin mengunjungi kakak perempuannya di Jakarta. Dari dan ke Bogor selalu menumpang KAI Commuter. Karena itulah di antara kami berempat, dia yang paling paham tata cara ber-commuter ria.

Dengan gesit jemari adik bungsu memencet-mencet tombol pada mesin, lalu berkata pada saya yang sudah berdiri di sebelahnya, “Empat puluh delapan ribu.”

Saya langsung mengangsurkan uang Rp50.000 yang lantas dimasukkan adik bungsu ke dalam mesin. Tak lama berselang keluar empat buah kartu tiket dan selembar Rp2.000.

Saya lupa berapa tarif asli Palmerah-Jakartakota ketika itu. Yang jelas, sebagian dari Rp48.000 tadi adalah uang jaminan untuk empat kartu tadi. Nanti sesampainya di Stasiun Jakartakota, tinggal masukkan saja kartu tersebut ke dalam mesin dan uang jaminan dikembalikan.

Bangunan lama Stasiun Palmerah, sisa-sisa sekaligus saksi sejarah berkembangnya daerah Palmerah seturut pembangunan rel kereta api yang melintasi kawasan ini. FOTO: kai.id

Stasiun Lawas, Pasar Lawas

Dari tempat kami masuk, Stasiun Palmerah tampak sangat modern. Sama sekali tidak terlihat jika bangunan ini merupakan stasiun lawas peninggalan era Hindia Belanda. Saksi bisu perkembangan kawasan Palmerah hingga Senayan.

Stasiun Palmerah sudah berdiri sejak 1890-an. Pembangunannya dilakukan oleh Staatsspoorwegen Netherlandsch-Indie, sebuah maskapai sepur bentukan pemerintah Hindia Belanda. Cikal bakal PJKA PT Kereta Api Indonesia.

Pembangunan Stasiun Palmerah bersamaan dengan pengembangan jalur trem uap dari Batavia menuju Tangerang. Jalur tersebut berpangkal dari Stasiun Duri yang telah lebih dulu beroperasi, tepatnya sejak 2 Januari 1878, dan berakhir di Paal Merah (sumber).

Proyek pengembangan ini selesai pada trimester akhir 1899. Stasiun Palmerah, bersama-sama Stasiun Tanah Abang, mulai beroperasi sejak Oktober tahun tersebut (sumber).

Untuk menuju Jakartakota kami harus transit dua kali. Transit pertama di Stasiun Tanah Abang, tidak jauh dari titik keberangkatan. Stasiun yang berdekatan dengan pasar tertua di Jakarta, bahkan mungkin juga di Indonesia.

Ya, Pasar Tanah Abang yang saya maksud. Pasar yang dibangun bersamaan dengan Pasar Senen di Weltevreden dan mulai aktif beroperasi sejak 30 Agustus 1735 (sumber). Artinya, pasar ini telah berusia 288 tahun!

Dibangun oleh Justinus Vinck, seorang anggota legislatif sekaligus tuan tanah yang menguasai berhektar-hektar lahan di kawasan Tanah Abang hingga Senen, sejak awal Pasar Tanah Abang diplot sebagai pusat tekstil dan barang kelontong (sumber).

Karena hanya boleh beroperasi setiap Sabtu, dulu Pasar Tanah Abang disebut Pasar Sabtu. Nama lainnya adalah Vinck Passer, pasarnya Vinck. Sebuah nama yang sulit diucapkan lidah pribumi.

Ketika terjadi Geger Pecinan di Batavia, Pasar Tanah Abang turut terkena imbas. Bangunan pasar dirusak dan dibakar dalam kisruh yang menewaskan banyak sekali etnis Tionghoa tersebut.

Setelah kejadian tersebut Pasar Tanah Abang terus mengalami perbaikan. Pada 1751, izin operasionalnya ditambah menjadi dua kali sepekan: Rabu dan Sabtu. Lalu pada 1926, pemerintah Batavia mengganti fisik pasar menjadi bangunan permanen (sumber).

Suasana di kawasan Pasar Tanah Abang pada sekitar 1900-an. FOTO: Troppenmuseum/Wikipedia

Pusat Perbudakan Batavia

Setelah Stasiun Tanah Abang, tempat transit kedua adalah Stasiun Manggarai. Lagi-lagi tempat di Jakarta yang menyimpan kisah dari masa penjajahan.

Stasiun Manggarai terhitung lebih muda dibandingkan dua stasiun sebelumnya. Dibangun sejak 1914, bangunan karya arsitek Ir. J. van Gendt tersebut mulai beroperasi pada 1 Mei 1918.

Pada masa itu, kawasan Manggarai masuk dalam wilayah Gementee Meester Cornelis. Namanya diambil dari nama tempat asal kebanyakan penduduknya: Manggarai, Flores Barat.

Orang-orang Manggarai didatangkan oleh Jan Pieterszoon Coen usai penaklukan Jayakarta pada 1619. Mereka dijadikan budak dan dipekerjakan untuk membangun sebuah kota baru yang oleh Coen diberi nama Batavia.

Karena tidak boleh tinggal di dalam benteng kota, budak-budak Flores tadi bermukim di pinggiran Batavia. Pemukiman itulah yang kemudian menjadi Kampung Manggarai (sumber).

Dalam perkembangannya, yang didatangkan ke Batavia tidak hanya budak lelaki. Para perempuan Flores juga ikut dibawa sebagai pemuas nafsu para pembesar VOC dan kalangan saudagar.

Perbudakan lantas merebak luas di Batavia. Pejabat-pejabat VOC dan para pedagang menjadikan kepemilikan budak sebagai tolok ukur kesuksesan mereka. Jadi bahan adu gengsi.

Seorang saudagar berkebangsaan Belanda, Van Riemsdijk, konon memiliki budak terbanyak pada masa itu. Jumlahnya bukan lagi belasan atau puluhan, melainkan 200 orang!

Hingga 1814, terdapat sekitar 14.000-an budak di Batavia. Sebagian besar berasal dari Flores. Barulah pada 1860 praktik perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda (sumber).

Di luar sejarah kelam tersebut, Stasiun Manggarai menjadi saksi bisu perpindahan ibukota negara ke Yogyakarta. Dari stasiun inilah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta diberangkatkan secara diam-diam ke ibukota baru pada 4 Januari 1946 (sumber).

Penampakan Stasiun Manggarai pada 1920-an. FOTO: KITLV/kai.id

Stasiun Karya Putera Tulungagung

Usai transit cukup lama di Stasiun Manggarai, perjalanan kami kembali berlanjut begitu rangkaian commuter yang ditunggu-tunggu datang. Kali ini durasi perjalanan berlangsung lebih lama dari sebelum-sebelumnya.

Tepat menjelang tengah hari tibalah kami berempat di Stasiun Jakartakota. Sebuah stasiun ujung, terminus, dengan bangunan bergaya art deco yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Saya langsung terkesima menyaksikan kemegahan stasiun ini. Bangunannya tampak sangat megah, tetapi anggun. Langit-langitnya yang melengkung tinggi membuat suasana di dalam stasiun begitu sejuk.

Keberadaan Stasiun Jakartakota berawal dari sebuah stasiun rintisan yang dikenal sebagai Batavia Zuid. Dibangun pada 1887, stasiun di sisi selatan Gementee Batavia ini ditutup pada 1926 untuk direnovasi.

Proyek renovasi dikerjakan oleh arsitek kelahiran Tulungagung, Frans Johan Louwrens Ghijsels, dan selesai pada 19 Agustus 1929. Hasilnya adalah bangunan stasiun megah yang hingga kini masih dapat kita saksikan bersama.

8 Oktober 1929, Stasiun Jakartakota kembali beroperasi. Acara peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jenderal jhr. A.C.D. de Graeff dan diberitakan berlangsung sangat meriah (sumber).

Sekeluar dari stasiun, lagi-lagi saya dibuat takjub ketika melalui penyeberangan bawah tanah. Setelah mengisi perut di lapak Soto Lamongan dekat air mancur, kami meneruskan langkah menuju kawasan Kota Tua.

Dan … sampailah saya di kawasan yang merupakan saksi bisu perjalanan bangsa selama ratusan tahun. Bahkan mungkin lebih lama lagi jika perhitungannya dimulai dari masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa.

Ya, Batavia.

Suasana di halaman depan Stasiun Jakartakota, pintu masuk menuju kawasan Kota Tua Jakarta bagi pengguna kereta KAI Commuter. FOTO: Wikipedia

Bandar Niaga Rebutan

Pada mulanya adalah Kalapa, bandar niaga yang terletak di mulut sebuah teluk strategis di pantai utara Yawadwipa. Kota pelabuhan inilah cikal bakal Jakarta masa kini.

Sejak abad ke-5, Kalapa sudah menjadi salah satu pelabuhan penting dalam rute pelayaran Tiongkok-India yang melintasi Selat Malaka. Masuk dalam rute perdagangan laut antarnegara, baik Jalur Sutera maupun Jalur Rempah.

Karena itu Kalapa adalah pelabuhan dagang yang sangat ramai. Kapal-kapal dagang dari Sriwijaya, Madura, Makassar, juga Malaka, Tiongkok Selatan, Ryu Kyu (Jepang), Gujarat hingga Arab banyak singgah untuk berdagang di sana.

Peran pentingnya dalam lalu lintas laut membuat Kalapa selalu jadi rebutan. Kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa saling sikut untuk mendapatkannya. Lalu sejak awal abad ke-16, kekuatan asing turut ingin menguasai jalabuhan ini pula.

Dari awalnya berada di bawah kendali Kerajaan Tarumanagara, penguasaan Kalapa terus gonti-ganti selama ratusan tahun. Sampai akhirnya jatuh ke tangan VOC sejak 30 Mei 1619, momen yang mengawali masa-masa penjajahan terhadap leluhur kita.

Setelah VOC bubar pada 31 Desember 1799, Kerajaan Belanda mengambil alih penguasaan Nusantara. Lalu dibentuklah Hindia Belanda pada 19 Agustus 1816.

Pemerintahan kolonial inilah yang kemudian membangun banyak infrastruktur penting di bumi Nusantara. Infrastruktur yang sebagian besar wujud sekaligus fungsinya masih dapat kita nikmati hingga sekarang.

Termasuk, tentu saja, rangkaian jalur kereta api di mana KAI Commuter yang saya dan adik-adik tumpangi melintas di atasnya.