Indonesia, Bangka Belitung Province, Belitung Island

“MAMPIRLAH sekalian ke Pangkalpinang, Ko. Kito jalan-jalan di sini,” undang Ryan begitu tahu saya akan ke Palembang, beberapa waktu lalu. Undangan yang sangat menarik sebenarnya.

Sayang sekali saya harus mengikuti serangkaian agenda yang telah ditentukan pihak pengundang di Palembang, sehingga tak bisa menyempatkan waktu mampir ke sana-sini. Bahkan tiket pulang pun sudah dibelikan.

Sori nian, Yan. Kagek lain kalilah aku mampir,” balas saya dengan penuh rasa sesal.

Nama lengkapnya Novrian Saputra, teman SMA saya di Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Ia sebenarnya adik kelas, tetapi kami satu grup di band sekolah. Ryan vokalis, saya pegang alat.

Kontrakan saya juga dekat sekali dengan rumah Ryan semasa di Muara Bulian, jadi kami sangat akrab karena nyaris setiap hari bermain bersama. Karena kedekatan tersebut, saya jadi kenal dengan saudara-saudaranya dan beberapa kali bertemu dengan ayah-ibunya.

Selepas SMA saya tak lagi mendengar kabar mengenai Ryan. Kami hilang kontak selama belasan tahun, sampai kemudian Facebook mempertemukan kami kembali.

Mercusuar di Pulau Lengkuas, salah satu ikon pariwisata Provinsi Bangka Belitung. FOTO: Getty Images/iStockphoto

Rupanya Ryan balik kampung ke Pulau Bangka, ketika itu ia menjadi wakil ketua KPID setempat. Hubungan kami semakin intens semenjak Dodi Rozano yang ternyata adiknya menjadi kontestan The Voice Indonesia.

Awalnya saya tidak hirau sama sekali dengan acara The Voice Indonesi. Sampai suatu ketika status Ryan di Facebook membuat sikap saya berubah. Ryan rajin sekali menggalang dukungan untuk Dodi, membuat saya ikut-ikutan memberi support via media sosial.

Aih, Dodi si bocah cilik itukah? Batin saya sembari mengingat-ingat masa lalu di Muara Bulian.

Semasa kami di Muara Bulian, Dodi masih sangat kecil. Kalau tak salah usianya kisaran 4-5 tahun. Yang jelas dia belum sekolah waktu itu. Dodi kecil sering saya lihat tengah bermain-main bersama teman-temannya di halaman rumah. (Baca kisah lengkapnya di blog pribadi saya: Sekelumit Kenangan bersama Dodi Rozano).

Interaksi intens dengan Ryan dan juga Dodi setelah sangat lama tak bertegur sapa waktu itu membuat saya jadi berkhayal untuk berlibur ke Pangkalpinang. Kapan ya terwujud?

Sejarah Timah Bangka

Semasa SMA, dari Ryan-lah saya banyak mendengar cerita tentang Pulau Bangka, utamanya Kota Pangkalpinang. Ia sering bercerita tentang timah yang sempat jadi komoditas andalan daerah ini. Komoditas yang menjadi akar sejarah terbentuknya Bangka dan juga Pangkalpinang.

Timah di Pulau Bangka sudah dieksplorasi sejak abad ke-16. Jauh sebelum bangsa Eropa mendarat di Nusantara, kongsi-kongsi asal Tiongkok sudah melakukan penambangan timah dengan seizin Sultan Palembang.

Beberapa literatur sejarah menuturkan, nama Bangka diduga kuat berasal dari kata ‘vanca’ dalam bahasa Sanskerta. Artinya timah. Kata ini muncul bersama-sama nama Swarnabhumi — yang merujuk Pulau Sumatra — dalam kitab Milindrapantha, karya sastra India yang ditulis pada abad ke-1.

Kata yang sama juga muncul dalam buku suci Hindu, Mahaniddesa, yang ditulis pada abad ke-3. Kata tersebut dilisankan ‘wangka‘ yang lalu bertransformasi menjadi ‘bangka’.

Perubahan lafal “w” dalam bahasa Sanskerta menjadi “b” menurut lidah lokal Nusantara adalah hal jamak. Contoh lainnya nama Vasudeva (dibaca Wasudewa) dalam epos Mahabharata yang berubah menjadi Basudewa dalam dunia pewayangan Jawa.

Suasana pertambangan timah di Bangka pada era kolonialisme Belanda. FOTO: KITLV

Kembali ke timah, konon, timah Bangka memiliki kualitas sangat baik sehingga diminati dunia. Inilah yang kemudian mendorong Belanda datang untuk menguasai Bangka dengan segala cara.

Pada masa penjajahan, Bangka menjadi pemasok timah terbesar di Asia, membuatnya dikenal luas di Eropa. Mengutip laporan berjudul Sejarah Perdagangan Timah di Pangkalpinang terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017), sekitar 83% timah dari Bangka membanjiri pasar Amsterdam pada medio abad ke-19. Bahkan seperempat kebutuhan timah Eropa dipasok dari Bangka.

Eksplorasi awal timah Bangka oleh bangsa Belanda dilakukan pada tahun 1710. Muntok menjadi pusat kendali aktivitas pertambangan dan pengolahan komoditas tambang tersebut.

Ketika Inggris berkuasa di Bangka, pada tahun 1813 East India Company menjadikan Pangkalpinang sebagai salah satu dari tujuh distrik eksplorasi timah. Enam distrik lainnya adalah Merawang, Toboali, Jebus, Klabat, Sungailiat, dan Belinyu.

Semenjak itulah Pangkalpinang mendapat julukan Kota Timah dan berkembang menjadi pusat perdagangan ramai di jalur Selat Malaka.

Lalu Belanda kembali berkuasa di Nusantara. Pangkalpinang dijadikan basis militer untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka.

Tahun 1913, pemerintahan kolonial Belanda memindahkan ibukota Karesidenan Bangka dari Muntok ke Pangkalpinang. Perpindahan tersebut disebabkan oleh temuan deposit timah nan melimpah di kawasan timur Bangka.

Di masa kemerdekaan, status Pangkalpinang terus berubah dari kota kecil pada tahun 1956, menjadi kotapraja dua tahun berselang, lalu berubah lagi menjadi kotamadya (1965), kotamadya daerah tingkat II (1974), sampai akhirnya ditetapkan sebagai Daerah Otonom Kota Pangkalpinang di tahun 1999.

Museum Timah, saksi sejarah eksploitasi timah di Pulau Bangka. FOTO: Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI

Museum Timah

Keberadaan Museum Timah di Pangkalpinang semakin menegaskan bahwa terbentuknya kota ini berawal dari timah. Di tempat inilah tersimpan sejarah panjang pertambangan timah sejak zaman kolonial Belanda.

Benda-benda koleksi terkait aktivitas pertambangan juga ditampilkan. Mulai dari peralatan tambang zaman dahulu, sampai produk-produk kerajinan berbahan timah.

Ada pula manuskrip awal penulisan sejarah Bangka. Dilengkapi dengan diorama dan lukisan-lukisan yang menggambarkan aktivitas pertambangan di masa penjajahan Belanda hingga masa modern.

Hobi selfie? Tenang, ada banyak spot menarik untuk narsis di Museum Timah.

Terdapat beberapa diorama berukuran besar yang cocok dijadikan latar belakang foto. Atau bisa juga berfoto di depan lukisan besar yang menggambarkan suasana pertambangan zaman kolonial.

Di bagian luar, ada lokomotif hitam di halaman depan museum yang tak kalah menarik. Itu lokomotif penarik rangkaian gerbong yang memuat bijih timah hasil tambang.

Oya, Museum Timah ini merupakan satu-satunya museum tentang timah di Asia. Beberapa sumber bahkan menyebut satu-satunya di dunia.

Museum yang bangunannya buatan Belanda ini juga jadi saksi kunci sejarah berdirinya Republik Indonesia. Di gedung inilah delegasi Republik Indonesia berunding dengan delegasi Kerajaan Belanda berkat mediasi Komisi Tiga Negara (KTN). Hasilnya adalah Perjanjian Roem-Roijen yang diteken di Jakarta pada 7 Mei 1949.

Salah satu diorama di Museum Timah, menggambarkan suasana pertambangan timah pada masa lampau. FOTO: Tribunnews/Bangka Pos

Museum Timah tak cuma didatangi oleh wisatawan lokal, lo. Banyak turis asal Belanda yang berkunjung ke tempat ini karena alasan asal-usul. Ada yang nenek moyangnya pernah bekerja di perusahaan timah di Bangka, beberapa lainnya malah lahir di Bangka sebelum dibawa pulang ke Belanda.

Selain Museum Timah, turis-turis Belanda tersebut biasanya mendatangi kerkhof atau pemakaman Belanda yang terletak sekitar 2 km di selatan museum. Di sini terdapat sekitar 102 makam, sebagian besar dalam kondisi rusak.

Menurut pemetaan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi dan Balai Arkeologi Palembang, makam tertua berangka tahun 1800 dan yang termuda berangka tahun 1954. Artinya, orang Belanda telah bermukim di Bangka sejak akhir abad ke-18.

Meski disebut makam Belanda, atau Pendem Belanda oleh penduduk setempat, tak semua yang dimakamkan di kerkhof ini orang Belanda. Data BP3 Jambi menyebutkan, dari sekian nisan yang bisa terbaca 25 buah diantaranya berbahasa Belanda, 10 berbahasa Jepang dan 3 berbahasa Indonesia.

Sama halnya Museum Timah, keberadaan kerkhof di Jalan Hormen Maddati ini menjadi bukti peran strategis Pangkalpinang di masa lalu.

Taman Bekas Tambang Timah

Masifnya aktivitas tambang timah di Bangka membuat beberapa bagian lahan di wilayah ini mengalami kerusakan parah. Kalau kita naik pesawat dan mendekati Bandara Depati Amir, terlihat bentangan alam berupa padang gersang dengan beberapa lubang besar.

Tanaman sulit tumbuh akibat parahnya kerusakan tanah yang terjadi. Pada musim hujan, lubang-lubang besar akibat aktivitas tambang berubah menjadi kolam-kolam berair keruh.

Sebagai bentuk kepedulian, sebuah perusahaan pertambangan timah bernama PT Dona Kembara Jaya melakukan gerakan pemulihan lahan tambang di kawasan Ketapang, Kota Pangkalpinang. Kegiatan ini diawali sejak tahun 2006, di atas lahan seluas 200 hektar.

Awalnya lokasi ini hanya untuk menanam bibit-bibit pohon yang akan dipakai mereklamasi lahan bekas tambang. Belakangan, pengelola kawasan kemudian mengembangkan lahan sebagai kompleks agrowisata terpadu. Di sini juga terdapat peternakan dan perikanan.

Deretan pohon cemara roro yang menyambut pengunjung di Bangka Botanical Garden. FOTO: Indonesia Kaya

Lalu diperkenalkanlah Bangka Botanical Garden (BBG) sebagai destinasi wisata baru di Kota Pangkalpinang. Lahan yang dulunya rusak parah penuh lubang telah berubah menjadi kebun luas yang menyejukkan.

Tempat ini segera saja menjadi favorit bagi pengunjung yang ingin merasakan ketenangan di tengah-tengah kehijauan pepohonan nan asri.

Begitu masuk ke area BBG, pengunjung disambut oleh deretan pohon cemara roro yang berjajar di kiri-kanan jalan tanah. Lebih ke dalam lagi terdapat rumah-rumah panggung berbahan kayu. Di sekitar rumah terdapat beberapa kolam berisi ikan nila, ikan mas, mujair, patin dan kepiting.

Di bagian lain terdapat kebun buah naga. Di sini pengunjung dapat memetik buah naga yang matang langsung dari pohonnya. Mau dimakan di tempat juga boleh, lo.

Ada pula pohon kurma yang tumbuh subur dengan dahan-dahan menghijau. Jika sedang panen bayam, pengunjung juga boleh membeli sayur-sayuran segar tersebut untuk dibawa pulang.

Rekreasi di Bangka Botanical Garden kian lengkap dengan keberadaan kuda. Pengunjung dipersilakan menaiki kuda-kuda ini untuk mengelilingi area kebun. Pengelola menyiapkan pemandu yang siap membantu pengunjung mengendarai kuda.

Hewan lain yang dipelihara di di sini adalah sapi. Sapi jenis Friesland Holstein asli Belanda jadi populasi terbanyak. Sapi-sapi ini dibudi-dayakan sebab dikenal dapat menghasilkan susu terbaik.

Pengunjung dapat menyaksikan proses pemerahan susu. Pada momen-momen tertentu susu-susu ini dibagikan secara gratis kepada wisatawan.

Wow!

Kebun buah naga di Bangka Botanical Garden. FOTO: Bangka Pos

Destinasi Liburan Impian

Sebenarnya mudah saja bagi saya untuk memenuhi undangan Ryan waktu itu. Toh, saya sudah berada di Palembang.

Dari ibukota Provinsi Sumatera Selatan tersebut ada penerbangan langsung ke Pangkalpinang setiap hari. Ada pula kapal cepat dari Pelabuhan Boom Baru menuju ke Pelabuhan Muntok. Sayang disayang, waktu itu saya sudah terlanjur dibelikan tiket Palembang-Jakarta.

Keinginan mengunjungi Pangkalpinang kembali muncul saat Dodi Rozano masih bertahan di The Voice Indonesia. Saya ingin menyaksikan aksinya di atas panggung secara langsung, bukan di layar televisi atau melalui YouTube.

Lagi-lagi keinginan ini gagal terwujud karena satu dan lain hal. Mudah-mudahan saja ada jalan lain yang mengantar saya ke Pangkalpinang.

Reuni dengan Ryan bakal jadi agenda utama saya. Kami sudah tak bertemu sejak tahun 2000, alias 24 tahun lamanya! Lalu menyaksikan performa Dodi Rozano bersama Pesirah Band harus masuk daftar. Dodi sering mendapat tawaran tampil, jadi mumpung ke Pangkalpinang harus cari kesempatan untuk melihat aksinya.

Pendek kata, semua alasan di atas menjadikan Pangkalpinang sebagai destinasi liburan impian saya. Apalagi kota ini tergolong plesirable, alias punya banyak sekali destinasi wisata menarik untuk yang hobi plesir alias traveling.

Apa saja?

Pantai Pasir Padi, memiliki susunan bebatuan yang identik dengan lokasi syuting film Laskar Pelangi. FOTO: Bangka Tour

Pantai Pasir Padi

Bersebelahan dengan Bangka Botanical Garden terdapat Pantai Pasir Padi. Di sini kita dapat melihat batu-batu granit nan eksotis di pantai. Ya, mirip seperti di Pantai Tanjung Tinggi yang jadi lokasi syuting Laskar Pelangi itu. Hanya ukuran batu-batunya lebih kecil.

Keunikan Pantai Pasir Padi terletak pada bentuk pasirnya. Tentu bukan tanpa alasan pantai ini dinamai Pasir Padi. Bentuk pasirnya memang seperti bulir-bulir padi yang panjang.

Keunikan bentuk tersebut disebabkan kandungan pasir timah yang terdapat di pantai. Karenanya pasir di Pantai Pasir Padi lebih padat dari pantai-pantai biasanya sehingga nyaman untuk berjalan kaki, juga bisa dilalui kendaraan.

Selain menikmati pasirnya yang unik, pantainya yang landai, serta birunya air laut, pengunjung Pantai Pasir Padi dapat menyeberang ke sebuah pulau kecil nan indah bernama Pulau Punai.

Pulau ini terbentuk dari bebatuan dan karang, berjarak sejauh kurang-lebih 200 meter dari bibir pantai. Jika air laut surut, kita dapat menyeberang ke Pulau Punai dengan berjalan kaki.

Yang menarik, Pemerintah Kota Pangkalpinang tengah merancang megaproyek bernama Pangkalpinang Waterfront City di Pantai Pasir Padi. Kelak, di seberang pantai bakal terdapat sebuah kota di atas daratan buatan seluas 1.700 hektar. Proyek bernilai Rp 2 triliun ini digagas sejak 2006 dan hingga kini terus digodog realisasinya.

Pasir Padi terletak sangat dekat dari Kota Pangkalpinang. Kira-kira berjarak 8 km dari pusat kota. Jadi, tidak sah mengunjungi Pangkalpinang kalau tidak main air laut di pantai ini.

Kelenteng Dewi Kwan Im di dekat Pantai Sampur. FOTO: Pinterest

Pantai Sampur dan Pantai Tapak Hantu

Agak jauh dari kota, ada Pantai Sampur atau Pantai Samfur. Ciri khas pantai satu ini adalah keberadaan kelenteng Dewi Kwan Im, lengkap dengan patung besar sang dewi di salah satu bagian kelenteng.

Kelenteng ini milik seorang tabib keturunan Tionghoa. Terdapat satu ruangan khusus pengobatan di mana sang tabib menjalankan praktik.

Satu lagi pantai di Pangkalpinang dengan ciri khas menarik adalah Pantai Tapak Antu atau Pantai Tapak Hantu. Disebut demikian karena pada bebatuan di pantai terdapat lubang-lubang berbentuk jejak kaki. Seperti jejak kaki manusia, tetapi berukuran lebih panjang.

Penduduk setempat mempercayai bahwa lubang-lubang tersebut merupakan jejak kaki hantu. Dari kepercayaan itulah nama Pantai Tapak Antu muncul.

Namun ada pula warga yang menamai pantai ini sebagai Pantai Tapak Dewa atau Pantai Telapak Kaki Dewa. Tentu ini karena warga di pihak ini percaya jika lubang-lubang di pantai adalah jejak kaki dewa yang turun ke bumi.

Secara administratif, Pantai Tapak Antu berada di Desa Batu Berlubang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Namun jaraknya sangat dekat dengan Kota Pangkalpinang. Jika ditarik garis lurus, pantai ini hanya berjarak 6 km dari Bandara Depati Amir.

***

Dengan kisah sejarah lampau dan pesonanya yang seperti ini, Pangkalpinang wajib masuk dalam daftar destinasi impian siapapun yang suka traveling. Ayo, segera susun jadwal untuk plesiran ke Pulau Bangka.